Istilah kayu wunglen identik dengan kayu bangunan makam Raja-Raja Mataram, Yogyakarta, dan Surakarta di Pajimatan Imogiri Bantul. Kayu wunglen adalah kayu hitam yang bersifat dan berciri seperti batu: hitam dan tenggelam di air. Kayu ini tahan api dan tahan air. Juga tahan terhadap rayap. Menurut R Agus Wahono, Juru Kunci Makam Raja di Imogiri, di masa lalu, kayu ini digunakan untuk kerangka bangunan di Makam Raja-Raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta di Imogiri. “Dikemudian hari, kayu-kayu bekas konstruksi bangunan ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, bukan karena kualitas kayunya, tapi karena diyakini bertuah atau member ‘berkah’”, imbuhnya. Orang Jawa khususnya percaya pada apa yang disebut ‘ngalap berkah’ yang artinya memanfaatkan ‘bekas’ yang dipakai orang-orang ‘linuwih’ dengan mengharap manfaat darinya.
Ada orang yang menggunakan kayu wunglen untuk membuat tongkat komando militer. Pemegangnya bisa merasa lebih berwibawa. Kayu wunglen juga cantik digunakan sebagai mata cincin. Meski berupa kayu, mata cincin dari kayu wunglen bisa hitam mengkilap, berkilauan, dan tentusaja mencorong. Tak heran kayu tersebut mampu memikat orang-orang tertentu. Mereka bahkan berani membeli kayu tersebut dengan harga tinggi. Maka, seperti gayung bersambut, para pemilik kayu wunglen pun mulai menyadari ‘nilai ekonomis’ kayu wunglen. Mereka menjualnya dalam bentuk batangan atau dalam bentuk-bentuk fungsional dan asesoris.
R Agus Wahono menambahkan, “Tingginya harga kayu wunglen telah mendorong sejumlah penjual berlaku tidak jujur. Kini banyak beredar ‘kayu wunglen palsu / tiruan’ yang sebenarnya hanya berasal dari inti kayu (galih) secang. Memang sama-sama hitam (lebih tepatnya merah tua), tapi kayu secang ringan seperti kayu pada umumnya. Selain itu, kayu wunglen memiliki serat sangat halus, saking halusnya sehingga serbuk gergajinya pun seperti tepung. Bila kita bandingkan dengan kayu lain, termasuk kayu secang hitam yang diaku-aku sebagai kayu wunglen, jelas berbeda. “
Supriyono Suroso, MM 081229878200 / 0815743786392
To share experience, opinion, idea, and knowledge about Jogja Indonesia
ALL ABOUT JOGJA
Jogja is the name that is always related to the ancient life of the former kingdom of Mataram. In its modern face, Jogja has undergone transformation of some of its aspects of life, while maintaining some others.
The Javanese language, which was one of the ancient prides with its unique letters and transcription, has almost been unspoken in urban areas. It is only spoken in royal ceremonies.
As a modern town, the town is characterized by 'modern' attitudes and behaviors. Politeness is rare among the young people. Traffic is crowded by 'hurried' people who try to compete for narrow spaces.
Cultural heritages are decreasing in number. Traditional clothes are only worn in ceremonial purposes.
Well, global transformation is in process now, and all we can do is reserving what is good and leaving what is bad. Despite the cultural deterioration, Jogja keeps its enchanting cultural uniqueness and beautiful traditional scenes. If we love Jogja, then we live it, we love it, and we look it after.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar